Keindahan alamiah terturih sembilu, goresan-goresan menjadi luka menganga, mengalirkan darah dan kepingan selnya. Uh, mimpiku hilang bagai ditelan bumi, oh tidak jangan ambil mimpiku, rintihku dalam sebuah kesendirianku. Tidaaaaa.....sejenak berteriak dalam jiwaku. Kembalikan mimpiku yang hilang, kembalikan mimpiku yang telah hilang, kembalikan mimpiku yang telah hilang, demikian rintihku berulang.
Atas sebuah mimpi diatas harapan, atas sebuah harapan yang menjadi mimpi, yang telah tunduk pada ulur waktu yang sia-sia, oh tidaaaaaaakk...teriakku lagi dalam rontaan jiwaku. Kembalikan dia, kembalikan dalam genggamanku, mimpiku adalah milikku. Begitulah aku terus merintih, dan terus merintih hingga air mataku mengering, tetapi mimpiku pun tak kembali.
Tetapi sejenak harus kutinggalkan rintihanku, karena semakin aku merintih hanya akan membuatku makin tak berarti dan mimpi-mimpiku pun tak kembali. Tidak, kataku lalu menatap wajahku didepan cermin, kulihat ada butiran keringat kaku menghias wajahku, dan tampaklah dimataku aku terlihat seperti pecundang yang kekalahan, pecundang yang akhirnya menjadi penonton.
Jantungku berdetak, pikiranku mulai terbuka, ternyata aku telah menganiaya diriku sendiri, membiarkan mimpi-mimpiku dihancurkan. Aku bukan pecundang, aku bukan pecundang, aku bukan pecundang, teruslah kalimat itu berulang kuucapkan. Dan saat itulah semangatku bangkit lagi, api jiwa membakar keinginan yang lemah dan menciptakan debu energi untuk maju menembus serpihan mimpi, membentuk impian yang pasti.
Terlambat? Tidak! Tidak ada kata terlambat, aku harus kembali menemukan mimpiku, meski hanya serpihan, aku harus menembusnya, hingga aku mampui menggenggamnya kembali. Aku harus bangkit, demi mereka yang mencintaiku dan orang yang aku cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar