Hah..apa lagi yang dia posting hari ini? Pasti nanya begitu kan? hehehe. Ya, gitu mungkin bertanya dan pertanyaan mungkin pula ada jawabannya. Upz...supaya tidak kepanjangan, langsung gol saja ya..? seperti pemain bola saja, hehehe. Oke deh, teruskan.
Desa Buloila, Kecamatan Sumalata, merupakan lokasi jembatan rusak di kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Jembatan ini menjadi penghubung antara kecamatan Sumalata dan kecamatan Tolinggula, karena letaknya berada dijalan lintas trans Sulawesi maka jembatan ini pula sangat strategis sebagai penghubung antara Gorontalo dan Sulawesi Tengah melalui kecamatan Tolinggula.
Jalan ini merupakan jalan satu-satunya jalan sentral perekonomia warga Gorontalo Utara yang ada dikecamatan Tolinggula, yang menghubungkan Gorontalo-Buol. Namun karena akses jembatan ini putus, maka untuk beberapa waktu, akses ke Tolinggula-Buol Sulteng tertunda perjalanan.
Jembatan yang ada didesa Buloila ini merupakan satu-satunya jembatan strategis lalulintas antara Gorontalo Utara dan Buol, tidak hanya itu jembatan ini pula memiliki arti penting bagi masyarakat setempat, karena berada dilintas perkampungan mereka.
Sudah lebih dari sebulan jembatan ini rusak, dan hampir sebulan lebih pula proyek perbaikan jembatan mulai berjalan. Untuk mengantisipasi terputus totalnya akses lalulintas didesa ini, maka dibangunlah jembatan darurat sebagai pengganti sementara jembatan yang rusak.
Entah siapa yang mengorganisir, saya pun tidak begitu memiliki banyak data tentang jembatan ini, yang jelas keadaan jembatan darurat ini sudah menjadi lahan pencaharian bagi masyarakat setempat. Setiap kendaraan yang melintas dimintai biaya, sesuai dengan jenis kendaraan yang melintas, misalnya sepeda motor, menurut data yang saya terima dari orang setempat dimintai uang sejumlah Rp.5000/kendaraan, mobil angkutan umum dan pribadi Rp. 20.000/kendaraan, sementara kendaraan pengangkut beban berat dimintai hingga ratusan ribu.
Sayangnya, saya tidak sempat bertanya panjang lebar bagaimana bisa jalan yang merupakan milik negara, yang jembatannya terputus dimintai retribusi oleh warga setempat. Karena perjalanan saya cukup singkat saat itu, saya tidak begitu mengumpulkan banyak data tentang pungutan yang ada diareal jembatan darurat.
Kalau dipikir, mungkin ini tidak seberapa, tetapi pasalnya pengguna jalan pun terkadang mengeluh akan hal ini, bila mereka melewati areal itu dimintai biaya yang mereka tentukan sendiri biayaynya. Enyah ini diketahui pemerintah setempat atau tidak, tetapi yang jelas ini mestinya ditertibkan.
Jika memang pungutan itu untuk perbaikan jembatan, aneh rasanya karena proyek pemerintah tentang pembangunan jembatan sementara berjalan, tetapi kalau pungutan itu atas nama desa, mungkin telah diatur dengan jelas dan paling tidak dijaga oleh pejabat pemerintah desa yang berwenang. Ini tidak, hanya msyarakat sekitar jembatan itu yang melakukannya.
Sebagian orang mengeluhkan hal ini, karena ini jalan umum termasuk jembatan darurat itu, maka wewenang untuk memungut retribusi adalah petugas yang ditunjuk pemerintah, itu puhn bukan pada tempat yang darurat seperti itu. Sekiranya pemerintah memperhatikan ini, bila pemerintah Gorut tahu, terus disetujui maka jadikan pungutan itu untuk kepentingan umum, tetapi bila pungutan itu tidak diketahui pemerintah, mungkin ada baiknya pemerintah menertibkan hal ini.
Sayang sekali saya tidak memiliki data yang lebih akurat tentang keadaan ini, dan karena perjalanan saya tidak untuk mengetahui tentang jembatan itu maka saya pun tidak berkonsentrasi mencari akar pungutan itu dari mana, yang menurut sebagian teman-teman yang selalu melintas dijembatan itu disebut "pungli".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar